Siluet Hujan
November 19, 2013
Gadis itu meneguk cappucinonya lalu diletakkan gelas itu di meja. Keningnya
berkerut dengan kepala sedikit miring ketika melihat lawan duduknya
menggerak-gerakkan telunjuknya di depan bibirnya. Gadis segera memundurkan
badannya dan menoleh ke samping untuk bayangannya lewat cermin di seberang
mejanya. Sesaat kemudian diambilnya tissue dan perlahan mengusap bibirnya. Ada bekas
whipped cream di tisu itu. Senyumnya merekah saat menatap pemuda di depannya.
“Kebiasaan.” Ucap pemuda itu. Sang gadis memamerkan deretan giginya
yang rapi.
“Trus …” lanjut sang pemuda.
“Apanya yang terus?” tanya gadis itu.
“ Hemmm… Kamu dan Boni.”
“ Enggak tahu.”
“Kamu sayang sama dia?”
“ Enggak tahu. Kami terlalu sering bersama. Tumbuh juga bareng. Rasanya
aneh.”
“ Apa yang aneh? Tinggal sayang atau tak. Tinggalkan ato tetap bersama.
Apa masalahnya?”
“ Mamanya ga suka ma papaku, Bi. “
“ Mamanya?? Bukannya udah meninggal ya.. So dimana masalahnya. Adik ma
ayahnya baik kan.”
“ Iyaaa… adiknya ga tahu kalo
aku ma kakaknya deket. Tak ada yang pernah tahu tentang kami.”
“ Hubungan kotak?? Lagi??”
Gadis itu menghela nafas, “ Something like that.”
“ Ga capek?”
“Sangat.” Gadis itu meraih gelasnya dan membuang muka ke arah pintu
keluar.
“ Kalian tu mempersulit hal yang mudah. Ya atau tidak… “
“Hujan, Bi. Kamu suka hujan kan.” potong gadis itu.
Sang pemuda berhenti bicara dan ikut menatap ke arah pintu keluar. Sesaat keduanya
larut dalam diam.
“ Siapa?”
Pemuda itu menoleh menatap sumber bicara. Keningnya sedikit berkerut
mempertanyakan pertanyaan tadi.
“ Siluet wajah yang kamu rindukan. Gadis yang datang pada hujanmu.”
Sang pemuda hanya tertawa kecil mendengar ucapan gadis itu. ditatapnya
lagi hujan.
“ Come on, Obi. Kamu ga pernah cerita tentang dia. Siapaa?”
“ Dia istimewa.”
Gadis itu tertegun mendengar jawaban itu. “Lebih istimewa daripada aku?”
“Mungkin.” Jawab sang pemuda meraih cangkir espressonya. Keduanya kembali
larut dalam diam.
---------000---------
“Menurutmu aku sayang Boni?”
Sang pemuda menoleh ke samping. Sumber suara tengah duduk bersandar di
sampingnya. Mesin mobil telah mati. Tapi tangannya masih memegang kemudi mobil.
Sebuah kebiasaan yang tak berubah.
“ Kamu yang punya hati. Kenapa tanya aku?”
“Ahhh…”
“ Kalian sama-sama single kan sekarang?”
“ Iya. “ Keduanya lagi-lagi terdiam.
“Udah malem. Aku masuk dulu.” Suara sang gadis memecah keheningan.
Pemuda itu tersenyum dan menoleh.
“ Terima kasih traktiran yaa. Besok kita jalan-jalan lagi, jajan-jajan
lagi. Okey.”
“ Lusa aku balik ke Aussie. “
“ Haruskah? Tak bisakah tetap disini?”
“ Tak ada yang menahanku disini, Ran.”
Gadis itu menatap pemuda disampingnya lekat, ”siluet itu ada di Aussie
ya?”
Pemuda itu diam dan membuang muka ke arah depan. Tangannya semakin erat
menggenggam stir.
“ Oke. Aku masuk dulu ya. Good night, Obi Mahesa. Byu byu.” Ucap sang gadis
sambil membuka pintu mobil.
Pemuda itu tetap diam dan mengikuti gerakan tubuh sang gadis lewat
matanya. Dibukanya kaca jendela ketika gadis itu mendekati pagar. Dia membalas
lambaian tangan dan memperhatikan tubuh itu menghilang ke dalam.
Sang pemuda melepas tangannya dari kemudi. Dibukanya laci dashboard dan
jari-jarinya mencari sesuatu. Dikeluarkannya sebuah kotak kecil dari laci dan
dibuka, sebuah cincin. Diambilnya cincin itu,ditatapnya lekat benda mungil itu,
” aku selalu sayang kamu. Semua pusaran waktuku nyaris habis kepadamu. Jika
tidak untuk apa aku tetap bertahan di sampingmu. Berharap suatu waktu kau akan menoleh
kepadaku dan menyadari perasaanku untukmu. Menyandarkan kepalamu di bahuku,
menggenggam erat tanganku sepenuhnya, hanya aku hingga waktu berakhir.
Seandainya kamu menahanku pergi, aku tetap ada di sini. Karena siluet hujanku itu kamu, Kiran Hapsari.
Selalu bermuara ke kamu.”
--------000-------
0 comments