Ternyata yang Seperti Ini ...

October 18, 2015

Saya tahu berjilbab adalah perintah Allah. Saya paham jika hal tersebut tertulis dengan jelas di Al Qur'an. Saya baca kok. Tetapi, saya belum siap untuk berjilbab. Lebih baik menjilbabi hati dulu. Kalau udah beres, baru deh pakai jilbab. Yah, paling enggak kalau sudah nikah deh jilbabannya. Posisi udah aman.

Itu adalah alasan klise yang saya sampaikan ketika beberapa teman menasehati saya untuk menutup aurat. Mereka enggak secara frontal sih nyuruhnya, tetapi sering banget berkata jikalau, seandainya kamu pakai jilbab, pasti kelihatan lebih oke. Lebih keren. Lebih cantik dan berbagai pujian yang lain.


Pada akhirnya memang saya memutuskan berjilbab ketika kuliah. Tetapi bukan karena ayat Al Qur'an tersebut. Bukan karena saya sadar bahwa menutup aurat itu keharusan. Bukan karena pujian-pujian tersebut. Bukaaan ... Malah sebetulnya saya berjilbab karena saya tidak puas dengan anugrah Allah. Kok bisa? Ini pengalaman saya.

Seharusnya saya bersyukur dianugrahi wajah imut. Wajah awet muda yang selalu membuat orang salah mengira umur saya. Seharusnya saya juga sangat bersyukur. Banyak wanita yang tak bisa menurunkan berat badan, sedangkan saya bisa bebas makan apapun tanpa takut gemuk. Singkat kata, perpaduan dari awet muda dan kurus, sebut saja imut. Sering saya dianggap masih SMA. ada yang menganggap masih SMP. Bahkan pernah saya memakai celana training dan jaket, sopir angkot menghargai dengan harga pelajar. Sepertinya dia mengira saya anak sekolah berpakaian olahraga. Hehe... .

Keimutan itu justru membuat saya resah. Gara-garanya saya mau PPL. Kebetulan saya kuliah di fakultas pendidikan. Salah satu programnya adalah praktek mengajar langsung di sekolah. Karena mata kuliah saya Bahasa Inggris, maka saya mendapat tugas mengajar di salah satu SMP di Solo. Kebayang dong anak SMP gimana. Apalagi SMP yang saya sambangi ini termasuk sekolah yang memiliki siswa luar biasa.

Ilustrasi

Sebetulnya keresahan saya itu bermula omongan teman-teman. Mereka sering menggoda saya.


"Nanti yang diajar sama yang ngajar besarnya sama."

"Gimana nanti Rima ngajarnya ya?  Muridnya lebih besar daripada gurunya."


Ucapan-ucapan itu benar-benar menganggu saya. Stress berat memikirkannya. Teringat pada masa lampau saat saya mendapat guru PPL. Tak jarang murid-murid menggodanya. Bahkan pernah salah satu guru PPL sampai dibuat menangis. Saya enggak mau dong mengalami hal tersebut. Enggak lucu saat mengajar, anak-anak malah nyuekin saya. Asyik ngobrol sendiri atau malah tanya hal-hal yang enggak penting. Ah, Kakak-kakak PPL yang pernah mengajar saya, maafkan diriku ini ya.

Saya harus mencari cara agar terlihat dewasa dalam waktu singkat. Sempat terpikir untuk operasi plastik. Pasti para dokter itu bisa merubah wajah imut saya jadi lebih sedikit tua. Tapi itu hanya khayalan saja. Secara biaya operasi plastik pasti jutaan. Belum lagi masa recovery. Kalau sampai saya PPL belum sembuh kan sama juga bohong. Akhirnya saya berpikir cara yang lebih instan dan masuk akal.

Tiba-tiba saya teringat kata-kata kakak kelas yang menjadi pengurus organisasi agama Islam waktu SMA, "Rima pakai jilbab terlihat lebih dewasa."
Kata-kata itu memotivasi saya dan muncullah niat memakai jilbab. Tujuannya agar terlihat lebih dewasa. Lagipula kalau pakai jilbab anak-anak itu akan segan. Masa iya mau macem-macem sama orang berjilbab, pikirku.

Keluarga sih tak mempermasalahkan. Mereka ikut membantu menyiapkan "perlengkapan tempur". Baju-baju buat PPL pun baru semua. Kali ini saya memilih baju yang agak longgar. Tujuannya agar lekuk tubuh saya enggak kelihatan. Biar makin kelihatan dewasanya. Sepatu high heels pun jadi pilihan. Tujuan agar terlihat lebih tinggi dan dewasa. Pikiran saya fisik banget ya. :)

Jreng... jreng ... hari pertama PPL pun tiba. Saya orang yang pertama datang di sekolah itu. Penampilan baru saya pun mengejutkan teman-teman. Tetapi tak ada yang mengucapkan selamat atas "hijrah" ini. Sedari awal saya memang sudah bilang ingin terlihat dewasa dan jilbab adalah jalan saya mewujudkannya. Selain PPL, kami masih mendapat beberapa mata kuliah. Jadi kalau libur PPL (ada jadwalnya), kami masuk kuliah seperti biasa.

Nah, masalah baru pun muncul. Mau pakai baju apa ke kampus? Tanpa jilbab seperti biasa atau pakai jilbab? Saya bingung. Bahkan sampai tak bisa tidur. Awalnya saya berencana memakai jilbab saat PPL. Selain itu yang dengan penampilan normal. Lha kok prakteknya enggak segampang itu. Entah kenapa, hati kecil saya berontak. Dia malu kalau saya tidak pakai jilbab. Enggak konsisten. Nanti pasti jadi omongin orang. Omongan orang, memang saya terlalu peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain. Mungkin itu salah satu alasan saya tak bisa gendut. Terlalu mikir apa kata orang.

Akhirnya diputuskan ke kampus pakai jilbab. Biar konsisten. Barulah ucapan selamat mengalir dari teman-teman kampus. Jujur saya enggak merasa bahagia dengan ucapan tersebut. Saya merasa malu. Mungkin karena enggak dari hati ya. Bahkan waktu itu masih berniat kalau pergi dengan teman selain orang kampus, jilbabnya dilepas.

Seiring waktu jilbab itu terus menempel di kepala saya. Pernah saya pergi tanpa jilbab tetapi hati tak tenang. Kepikiran dilihat teman kampus dan pasti akan jadi bahan gunjingan. Lagi-lagi mikirin kata orang kan... . Untuk urusan baju, saya masih seadanya. Baju lengan panjang bisa dihitung jari. Itu pun ukuran kecil lho, soalnya saya kan mungil jadi hukumnya haram kalau pakai baju gede. Itu pikir saya. Baju yang lumayan gede ya cuma baju PPL, 3 kemeja putih, 2 rok hitam. Akhirnya kemanapun sering pakai jaket. Kalau enggak pakai baju dobel.

Awalnya sering pakai deker panjang terus luarnya kaos pendek yang biasa dipakai. Berhubung deker tangan suka molor dan enggak nyaman, akhirnya beli kaos panjang yang buat daleman. Tapi gerah juga ya pakai baju dobel. Cucian juga tambah banyak. Akhirnya setiap kali beli baju pilih yang lengan panjang.

Hasil latihan tutorial :D

Ada kala ketika lengan sudah panjang, tetapi bagian badan masih ketat plus pendek. Jadi saat membungkuk area belakang agak terlihat. Dulu sih kurang peduli. Paling ditutup jaket. Tetapi setelah pakai jilbab saya jadi lebih rempong. Bukan model yang jadi pertimbangan utama. Tetapi bagaimana baju ini melekat di tubuh. Apa yang terjadi. Saya sadar bahwa pendapat saya dulu salah. Jilbab hati dulu baru jilbab tubuh. Nyatanya setelah saya berjilbab saya mulai memperbaiki penampilan fisik saya. Bertahap memang, tapi ada arah untuk yang lebih baik.

Urusan jilbab juga mengalami banyak fase. Awalnya saya pakai jilbab segi empat yang kecil. Jadi jatuhnya pendek meski menutup setengah dada. Selanjutnya ganti jilbab lilit. Salah satu sisi diputar ke atas, sisi lainnya dililit ke leher. Ada kalanya saya sesak napas. Lilitannya terlalu kencang, padahal ya ngelilit sendiri ---___----"

Ketika menjamur pashmina dan model jilbab uwel-uwel saya pun ikut. Setiap waktu download tutorial jilbab, lihat di youtube serta merekam saat ada tutorial nongol di layar kaca. Niat banget deh. Saya bisa menghabiskan waktu satu jam lebih hanya untuk membuat jilbab model bunga, model cepol, dan sebagainya. Saya juga mencoba jilbab instan kesukaan semua orang. Tetapi enggak cocok. :(

Jilbab instan yang kebetulan pas di wajah


Gara-garanya ukuran wajah yang terlalu kecil. Akhirnya bagian dagu akan terbuka dan saya enggak suka. Saya suka jilbab yang pas di wajah. Jadi enggak miring sini miring sana. Saya berpikirnya gini, apa gunanya pakai jilbab instan jika harus tambah peniti atau dijahit lagi. Jadi ribet namanya. Pada akhirnya jilbab segi empat kembali jadi andalan utama. Cukup berbekal sebuah peniti di dagu dan bross. Cukup lengkungkan sedikit salah satu sisi lalu pasang brosnya. Ringkas. Terkadang jika tak malas, model uwel-uwel saya pakai saat kondangan.


Gaya uwel-uwel buat kondangan

Tantangan berjilbab pun muncul ketika saya mengurus ijazah. Ini tentang foto ijazah. Ada pertentangan dari keluarga soal jilbab. Mereka menginginkan saya melepas jilbab di foto ijazah. Jilbab akan membatasi saya untuk mendapat pekerjaan. Tambahan aturan kampus jika mahasiswi memakai jilbab juga membuat saya berpikir keras. Hingga akhirnya saya terima ajakan keluarga. Foto ijazah tanpa jilbab.

Saya melakukan sesi foto di studio. Sempat mencatok rambut juga. Dan ... saya tidak tenang. Rasanya risih saat orang lain melihat penampilan "telanjang" saya. Belum lagi kekhawatiran kalau-kalau ada orang yang dikenal melihat saya begini. Benar-benar tidak enak.

Saya pun sadar bahwa jilbab sudah menjadi bagian hidup. Menjadi sesuatu yang tak bisa dilepas lagi. Sekarang alasan saya berjilbab bukan karena ingin terlihat dewasa.Itu adalah identitas saya. Saya masih berproses dan terus berproses ... .


Gaya andalan sekarang
Tulisan ini disertakan dalam GA "Hijab yang Nyaman di Hati"

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

kumpulan-emak-blogger

Flickr Images